TELEPON yang pernah menjadi idaman setiap keluarga di Indonesia, pada suatu hari nanti, agaknya segera akan tersisih. Lebih dan lebih banyak di antara penduduk Indonesia yang berusia separuh baya, kini, tiada lagi menggunakan temuan Philipp Reis yang dikembangkan Alexander Graham Bell di tahun 1862 itu. Mereka tiada lagi sering menggunakan telepon untuk berbicara dengan sahabat, bercinta dengan kekasih atau pun berjanji dengan relasi. Telepon sudah mulai mereka tinggalkan. Mereka menggantinya dengan pemancar radio.
Dulu, di tahun 1876, ketika telepon pertama kali dipamerkan Bell dalam Pameran Seratus Tahun di Philadelphia, Amerika Serikat,1 ia memang masih menarik dan mengundang sensasi. Kaisar muda dari Brazil Pedro ll bahkan sempat keheran-heranan ketika mencobanya, “Astaga firullah, benda ini dapat berbicara!”2
Namun, kini, seratus tiga belas tahun telah berlalu. Kalau saja sang Kaisar masih hidup dan sempat mampir di Indonesia, ia tentu tak lagi dapat berseru seperti itu bila melihat nasib telepon. Perkembangan pemancar radio yang membanjiri negeri ini sejak pertengahan 1979 tentu lebih mengherankannya. Kalaupun ia mencoba menggunakan pemancar, mungkin sambil melirik telepon, sang Kaisar akan berkata, “Astaganaga, ho…ho…ho…ho…. Telepon malang, pemancar bukan saja dapat berbicara, tapi juga sudah dapat menggantikanmu!”
Memang, pemancar tampaknya mulai menggeser telepon. Malah, bagi penggemarnya, pemancar sudah pula mirip telepon. Bedanya cuma sedikit. Dengan telepon, komunikasi dimulai setelah mendengar deringan atau bunyi tert…tert…tert…tert….Dengan pemancar, komunikasi dimulai setelah melihat indikator bergoyang-goyang atau cukup menanti panggilan di waktu tertentu. Tentunya, yang hendak berkomunikasi telah mengadakan perjanjian. Sepakat.
Sentot tahu Mimi datang memanggil setelah melihat indikator dapat pemancar bergoyang-goyang tiga kali pada pukul 24.00 setiap menjelang pagi. Lantas, kalau sudah ada sign seperti itu, dengan segera pemuda tersebut melompat dari tempat tidur dan cepat-cepat menyambar mikrofon. Ia membesarkan volume, “Hai,” sapanya. Maka, kisah cinta pun segera dimulai. Episode demi episode, selama berjam-jam, bahkan sering sampai menjelang fajar, mereka ngebrik sambil bisik-bisik.
Sedangkan Anwar lain lagi. Setiap pulang sekolah, ia selalu on the air dengan teratur. Soalnya, ayah Anwar di kantor biasa muncul di frekuensi tepat pukul 13.00 sesudah waktu makan siang. Kepada Anwar, ia selalu menyampaikan message. Antara lain, “A’an, bilang Mami, Papi sore nanti langsung ke Mandarin. Ada dinner bersama di sana. Kalau mau, kamu dan Mami nyusul saja. Suruh Udin mengantar. Ingat, jangan ngebut. Pakai mobil yang mana saja boleh. Asal jangan pakai Peugeot milik Papi, okay?”
Pembicaraan selanjutnya, bisa saja berkembang kemana suka. Terserah kepada Anwar dan ayahnya. Kadang kala, pembicaraan hanya singkat saja. Namun, mirip Sentot dan Mimi, obrolan Anwar dan ayahnya bisa juga berjam-jam. Mereka asyik ngebrik sambil tertawa hi…hi…hi.
Fungsi pemancar tampaknya sudah tumpang tindih dengan telepon. Apa boleh buat. Dari segi biaya, menggunakan pemancar sebagai alat komunikasi memang lebih hemat. Dengan pemancar yang kini rata-rata Rp.350.000,- per buah, seseorang dapat berbicara berjam-jam tanpa kuatir soal biaya. Sedangkan dengan telepon,—khususnya telepon genggam — belum apa-apa, mungkin sudah harus berpikir sepuluh kali.
Bandingkan. Jika telepon umum Rp. 100,- per enam menit, sejam Rp. 1.000,- Kalau makhluk seperti Sentot menggunakannya untuk in the mood enam jam sehari, mau tak mau, sudah keluar biaya Rp. 6.000,-. Sebulan Rp.180.000,.
Katakan tarif untuk pelanggan seperti Sentot cuma separuh tarif telepon umum maka ia akan mengeluarkan Rp. 90.000,- per bulan. Bila dibandingkan dengan tarif menggunakan pemancar berdaya 75 watt per bulan, ternyata 21kali lebih mahal. Percobaan menunjukkan, sebelum tarif listrik naik 25% pada Mei 1989, dengan mengudara enam jam sehari seperti Sentot, rekening literik hanya naik Rp. 4.250,- per bulan.
Karena itu, menggunakan pemancar lebih hemat dari pada telepon. Cukup bayar listerik saja. Apalagi, bila daya pemancar di bawah 75 Watt seperti yang digunakan Sentot maka tarif listerik akan lebih murah. Kurang dari Rp. 4.250,- per bulan. Tak heran orang lebih menyukai pemancar dari pada telepon. Terutama, bila langganan telepon, meski tak menggunakan, pelanggan wajib membayar. Atau, yang paling menjengkelkan, orang lain yang menggu nakan, pelanggan yang bayar. Hal ini tak mungkin terjadi kalau menggunakan pemancar. Bila tidak mengudara, listerik jelas tak perlu dibayar. Dan kisah sedih membayarkan orang lain pun tak mungkin terjadi. Siapa pula yang menyadap frekuensi sehingga dia yang menggunakan, Anda yang membayar?
Itulah beda prinsip antara telepon dengan pemancar. Telepon menggunakan kabel yang dapat disadap. Sehingga, pemasangannya pun, telepon jauh lebih sulit. Kabelnya berbelit-belit mirip birokrasi ketika mengurus permohonannya meski hanya seharga tujuh ratus ribu rupiah.
Di sisi lain, menggunakan pemancar jauh lebih tenang dari pada telepon. Telepon, umumnya, masih dianggap milik serumah. Milik keluarga. Pemancar lebih bersifat personal. Milik pribadi. Karena itu, ngebrik bisa jauh lebih bebas dan nyaman, apalagi mesti sampai pagi. Di saat berkomunikasi, mikrofon bisa diletakan begitu saja. Tidak melelahkan seperti telepon: kopnya mesti selalu ditempelkan di telinga.
Sementara, yang paling penting, telepon tak dapat di-brik kalau sedang dipergunakan. Anwar, kalau menele pon ayahnya, harus tahan diri dulu bila setelah memutar nomor, terdengar bunyi: tit…tit…tit…. Itu tanda telepon di meja sang Direktur sedang dipakai. Mungkin, ayah Anwar sedang menghubungi relasi untuk mengetahui perkembangan terakhir devisa non migas atau sedang menghubungi isteri keduanya yang tinggal di Pondok Gede. Sementara, di rumah, Anwar kebingungan karena ibunya lagi anvaal. Dia putar lagi nomor telepon ayahnya: tit….tit….tit…. Ternyata, masih dipakai.
Itu hanya satu bukti kelemahan telepon. Hal tersebut tak akan terjadi andaikan ayahnya lagi ngebrik. Toh, Anwar bisa langsung menyela, “Brik! Brik dong, Pap. Ini Anwar, Mami lagi anvaal!” Pembicaraan sepenting apapun yang sedang dilakukan ayahnya pasti dapat segera dihentikan.
Jadi, sekali lagi, pemancar memang cenderung dipilih siapapun dalam kondisi semacam itu. Akibatnya tentu mempengaruhi pihak yang mengelola bisnis telepon di negeri ini. Tahun 1985, di Bali, produksi pulsa telepon menurun drastis. Kata Erlangga Suryadarma, penduduk pulau Dewata itu ternyata lebih sering menggunakan pemancar radio untuk berkomunikasi dari pada telepon. Akibatnya, Perumtel di sana menderita kerugian. Demikian di ungkapkannya ketika hendak ke Auckland, Selandia Baru, mewakili Organisasi Amatir Radio Indonesia (Orari) dalam pertemuan ke 6 Badan Internasional Amatir Radio Wilayah lll, Asean-Oceania, 17 Nopember 1985.
Selain itu, pelayanan pihak Perumtel sendiri dapat mendorong konsumen melarikan diri dari telepon. Tanggapan Perumtel terhadap keluhan konsumen mengenai pengajuan pemasangan dan perbaikan kerusakan, paling tidak, masih sangat buruk sekali. Konsumen dapat menunggu tanggapan Perumtel berminggu-minggu, berbulan-bulan dan bahkan mungkin bartahun-tahun.
Hal-hal semacam itu yang agaknya memperkuat perilaku masyarakat Bali berpaling ke pemancar radio. Bisa diperkirakan, berapa besar kerugian Perumtel bila perilaku semacam itu diikuti pula masyarakat di pulau lain, terutama di pulau-pulau terpencil yang belum dijangkau telepon ?
Kini, selayaknyalah Perumtel menyediakan payung sebelum hujan. Coba sekali-kali hubungi pihak langganan dengan telepon. Tanyakan, “Hello, sudah beli pemancar atau belum ?”
Oleh Mohammad Fauzy
- Reader’s Digest Almanac and Yearsbook 1968, The Reader’s Digest Association, Inc., New York 1968, h. 710.
- Egon Larsen, Kisah Penemuan dari Masa ke Masa, Djambatan, Jakarta, 1979, h. 39
Leave a Reply