BUTET MANURUNG

by 3senyuman

Nestor Pelestarian sarana pengetahuan di kalangan rakyat jelata lebih penting daripada seluruh harta milik orang-orang kaya

(John Adams, Presiden Kedua Amerika Serikat)

Nama lengkapnya Saur Mariana Manurung, tetapi ia biasa dipanggil Butet. Ia lahir di Jakarta, 12 Februari 1976 itu. Empat tahun masa kecilnya sempat tinggal di Leuven, Belgia. Ya, Butet Manurung lahir dari keluarga kota cukup berada. Tapi kiprah hidupnya kemudian seperti terseret melenceng jauh.

Usai SLTA, Butet kuliah di Universitas Pajajaran, Bandung. Tidak tanggung-tanggung, ia mengambil dua bidang studi, Antropologi dan Bahasa. Sambil kuliah, ia masih sempat kerja sambilan, mengajar organ dan matematika. Hasilnya ia tabung untuk menyalurkan hobinya sebagai pecinta alam.

Ia telah mendaki Puncak Trikora, di pegunungan Jayawijaya, menelusuri gua Wikuda di Wamena, gua Maros di Sulawesi, dan mendaki Annapurna Range di Himalaya. Selain itu ia ikut beberapa penelitian di Ujungkulon, Banten, hingga Timor dan Nusa Tenggara. Terbayang, ia gadis seperti apa.

Sampai suatu ketika ia berkenalan dengan suku Rimba, yang biasa disebut orang Kubu, di pedalaman rimba Jambi. Orang Rimba dianggap suku terasing, yang masih bodoh, miskin, dan primitif. Butet merasa tersentuh, ingin melakukan sesuatu. Ia lalu melamar jadi tenaga guru lewat sebuah LSM yang lebih dulu terjun di sana.

Niat Butet ternyata tidak berterima. Suku Rimba ogah diajar, apalagi oleh seorang perempuan. Mereka cenderung curiga pada orang luar, termasuk pada LSM yang mewadahi niatnya. Butet merasa cintanya sedang diuji. Ia memutuskan keluar dari LSM dan berusaha terjun sendiri, di kawasan hutan Bukit Tiga Puluh.

Ternyata, jalan sendiri pun sama. Suku Rimba sudah terlanjur alergi mendengar kata sekolah. Mereka merasa tidak perlu sekolah karena tidak ada dalam adat mereka. Bahkan lebih gawat dari itu, mereka takut kualat. Duh! Butet hampir saja putus asa.

Tapi Butet kembali merasa cintanya sedang diuji. Ia nekad hidup sebagai orang Rimba. Belajar tentang adat dan menghayati hidup seperti mereka. Tinggal bersama mereka. Makan apa yang mereka makan. Ikut bertelanjang kaki dan kadang hanya mengenakan kain kemben.

Sebagai gadis kota, tidakkah ia kesepian, atau takut tinggal di hutan? Butet justru melihat banyak sisi yang indah. Melihat anak umur empat tahun bisa memanjat pohon. Melihat anak-anak perempuan menganyam tikar. Melihat anak laki-laki menangkap ikan di sungai atau mengambil madu dari pohon, dan banyak lagi. Lebih dari itu, Butet jadi memahami suku Rimba memiliki tradisi luhur dan sistem sosial yang penuh toleransi. Orang Rimba tidak mengenal kekerasan, apalagi sampai membunuh sesama. Mereka juga sangat santun dan menghormati tamu. Mereka cenderung curiga kepada orang luar, karena mereka sering ditipu, sebab tidak bisa baca tulis dan berhitung. Menurut Butet, mereka lebih tepat disebut “masyarakat adat”.

Perlahan, Butet berhasil mendirikan “sokola rimba” di kantong-kantong pemukiman suku Rimba. Ia pindah dari satu tempat ke tempat lain. Kurikulum sekolah jelas tidak berlaku di sini. Butet mengajar baca tulis dengan metode dan konsep yang ia cari-cari sendiri, sesuai alam dan pola pikir murid-muridnya. Di sini tidak ada formalitas guru–murid. Bagi mereka, Butet adalah guru sekaligus sahabat. Bagi Butet, “mereka murid, sekaligus guru saya.”

Selama empat tahun bersama masyarakat suku Rimba, Butet melahirkan belasan kader guru, yang sudah bisa menularkan ilmu kepada saudara-saudaranya. Hampir 40 persen anak Suku Rimba bisa baca tulis dan berhitung. Dengan kemampuan itu, mereka bisa menghitung berapa uang yang seharusnya mereka terima kalau menjual hasil hutan. Mereka bisa membaca surat perjanjian perbatasan tanah sebelum menuliskan nama dan membubuhkan jempol. Butet juga membekali mereka dengan pengetahuan hukum agar tidak mudah diperdaya pendatang asing. Mereka sudah tahu kemana harus mengadu kalau ada orang atau perusahaan yang melakukan pembalakan liar, pencurian kayu, dan tindakan kriminal lain.

Nah, itulah Butet. Banyak pendidik di Indonesia. Tapi  Butet adalah pendidik yang berbeda. Ia pendidik yang mencerahkan dan memberi inspirasi. Ia membuka akses pada pengetahuan dan peradaban. Itulah pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan yang berkonstribusi bagi kehidupan dalam menghadapi tekanan jaman. Pendidikan yang memberi pengetahuan dan membantu manusia hidup lebih baik. Itulah sekolah yang sejati.

Atas semua kiprahnya, Butet memperoleh banyak penghargaan, seperti “Man and Biosphere (MAB) Award” dari LIPI, tahun 2000. Tahun 2004, ANTEVE memberinya penghargaan “Women of the Year“. Bulan Oktober tahun yang sama majalah TIME Asia menobatkannya sebagai salah satu “Heroes of Asia Award 2004”. Asia. Ia juga memperoleh penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Presiden SBY.

Kini Butet aktif mengelola Yayasan SOKOLA, yang ia dirikan tahun 2003. Yayasan ini merupakan wadah pendidikan alternatif yang mencoba menjangkau komunitas-komunitas yang tidak terjangkau sekolah formal di Indonesia. Selain Jambi, wilayah yang mereka jangkau antara lain Flores, Halmahera, Bulukumba, Aceh, Yogyakarta, dan Makassar. “Kami menyebutnya sekolah untuk kehidupan,” kata Butet.

Ucapan John Adam, bahwa sarana pengetahuan di kalangan rakyat jelata  lebih penting daripada seluruh harta milik orang-orang kaya, mungkin terasa berlebihan bagi sebagian kita. Tapi bagi Butet, yang sudah merasakan betapa menyedihkan hidup saudara-saudara kita yang belum kenal pendidikan, mungkin akan membenarkan ucapan itu. Betapa tidak adil, sementara kita melangkah maju sampai menembus dunia, tapi kita membiarkan sebagian saudara kita, tertinggal amat jauh di belakang, di hutan-hutan sana. Bukan begitu, Ito?

Nestor Rico Tambunan

Leave a comment