ADA sebuah luka di tangan Baskara, sekitar 15 senti dari bahu sebelah kanan. Luka itu agak menyerong, masih basah, dan pinggirnya kehitam-hitaman. Bekas bacokan sebuah golok.
Ceritanya, kira-kira seminggu lalu, Baskara ngebrik. Waktu itu, mendadak muncul seseorang di frekuensi. Ia menyuruh Baskara pindah, tapi Baskara tidak menggubris. Terjadilah pertengkaran di udara yang kemudian berlanjut ke darat. Subuh itu juga, Baskara didatangi sejumlah orang tak dikenal. Mereka bertengkar sebentar. Tidak disangka, mendadak Baskara dibacok.
Lain lagi cerita Matnur. Jika Baskara dibacok, pemuda Betawi ini hampir dibacok. Itu pun karena ia cepat-cepat mohon maaf, mengaku bersalah. Kalau tidak, entah apa yang bakal terjadi.
Ceritanya, sudah bermalam-malam Matnur ngebrik dengan Maslina. Di udara, entah kapan, ia mengumbar kata yang seronok bercampur rayuan. Rupanya, perkataan Matnur terdengar oleh kakak Maslina yang langsung naik pitam. Matnur pun diburu.
Kakak Maslina mengamuk di rumah Matnur. Ruang tamu diporakporandakan. Alasannya Maslina masih kecil, baru kelas dua SLTP. Sebab itu, menurut kakaknya yang mendatangi Matnur, Maslina tidak pantas diajak bicara seronok. Tapi, namanya juga di udara. Menurut Matnur, ia tidak tahu bahwa Maslina masih kecil. Karena mengetahui besar kecil seseorang saat di udara memang sungguh mustahil.
Meski begitu, bukan berarti Matnur boleh seenaknya berbicara seronok dengan gadis-gadis yang sudah besar. Karena sopan santun di udara memang patut dijaga. Jangan sampai karena mulut badan binasa.
Masih untung kalau binasa dengan alasan yang jelas. Kalau tidak, perasaan mungkin penasaran seperti Acong. Suatu sore, anak Kebayoran ini mendadak didatangi empat orang tak dikenal. Tanpa banyak cincong, Acong dihujani pukulan.
Alasan mereka tidak jelas. Hanya, sehari sebelumnya, Acong dituduh mengganggu frekuensi. Padahal sudah tiga bulan ia tak pernah ngebrik karena berdagang keluar kota. Tak heran Acong menjadi geregetan. Apalagi gara- gara pukulan itu matanya bengkak dan punggungnya memar kena injak. Seluruh tubuhnya terasa ngilu.
Semua peristiwa itu, tentu, dengan sendirinya memberi pelajaran bahwa setiap saat, orang-orang tak dikenal dapat muncul. Malah, tanpa alasan yang jelas, dapat datang mendadak, main pukul dan main bacok.
Hal itu bukan mustahil. Lokasi setiap pemilik pemancar memang mudah dilacak dengan Detection Finder,1 semacam radio detektor. Namun, selain perangkat yang mahal ini, jika orang-orang tak di kenal itu mengincar seseorang, dengan mudah mereka dapat pula bertanya kepada siapa saja yang sedang mangkal di frekuensi, tempat sasaran selalu bergabung dan berkomunikasi.
Setiap pemilik pemancar, umumnya, memang selalu bergabung dalam sebuah kelompok yang menguasai frekuensi tertentu, tempat ia mangkal, bercanda, dan bertukar informasi. Eghes, umpama, menguasai 594, Paguyuban Warung Tegal memblokir 592 dan 590, dan Stone mangkal di 599. Setiap anggota kelompok frekuensi itu saling kenal dan berkumpul pada waktu-waktu tertentu.
Cara menanyakan sasaran, tentu, tidak langsung. Agar tidak mencurigakan, biasanya mereka mengawali pembicaraan dengan ngalor-ngidul ke sana-sini, baru mulai melacak lokasi sasaran. Apalagi, jika orang-orang tak dikenal tersebut menggunakan jasa para Young Lady untuk bertanya. Semua urusan bisa jadi kian lancar.
Teknik lain, dengan mudah orang-orang tak dikenal itu mengikuti sasaran dari satu frekuensi ke frekuensi lain, memonitor pembicaraan sasarannya dengan pemilik pemancar lain, sampai mereka mendapatkan informasi tentang lokasi sasaran. Karena sasaran yang diincar memang tak menyadari bahwa dirinya sedang diamat-amati. Maka ia pun tinggal menunggu waktu untuk didatangi.
Dua cara terakhir, selain menggunakan Detection Finder, adalah teknik yang biasa dipakai para penggemar pemancar untuk melacak sesama mereka dan lebih populer digunakan untuk melacak lokasi para Young Lady. Jadi, tidak aneh kalau orang-orang tak dikenal dapat muncul di rumah seseorang pemilik pemancar. Tidak aneh pula jika pertengkaran di udara dapat berlanjut ke darat, bahkan, mirip cerita-cerita silat almarhum Kho Phing Hoo, pakai main bacok segala.
Sepintas lalu, tindak kekerasan ini, bagi pelaku, tentu tampak rasional. Namun, dalam kehidupan, banyak sekali pikiran rasional.yang sama sekali berada di luar apa yang umumnya dinilai normal. Tindak kekerasan, bagai manapun bentuknya, tidak dapat dilindungi, apalagi dibenarkan. Jalan terbaik untuk menghindarkan perilaku yang agresif tersebut adalah dengan menjaga mulut, menjauhi pertengkaran.
Frekuensi-frekuensi di udara kini memang telah dipergunakan berbagai kalangan. Mulai dari anak-anak sampai orang tua, pembantu rumah tangga sampai petinggi negara, dan mulai dari yang tidak berpendidikan sampai yang bergelar doktor sekalipun, telah ikut kecanduan ngebrik. Mereka amat heterogen, bahkan tersebar hingga kepelosok-pelosok terpencil.2 Hampir seluruh frekuensi ‘dua meteran’ menjadi penuh dan ramai.
Dampak booming penggemar pemancar yang terjadi sejak pertengahan 1979 ini tentu saja membuka peluang berbagai kerusuhan. Seorang sosiolog, Le Play, pernah berkata, tiap-tiap generasi baru dapat disamakan dengan suatu penyerbuan dari orang-orang biadab kecil. Jika mereka lalai dilatih dan diberi pendidikan, maka keruntu han akan mengancam.3
Kemungkinan ini dapat saja terjadi. Sebagian besar pemilik pemancar yang menggunakan frekuensi ‘dua meteran’ adalah orang-orang tak berpendidikan di bidang komunikasi radio. Mereka tak memiliki izin. Tak menguasai tata cara berkomunikasi dengan perangkat yang juga mereka dapatkan secara gelap. Betapa kisruhnya mereka di udara.
Yang paling sering menjadi sumber pertengkaran mereka adalah ganguan-ganguan sinyal sesama di saat berkomunikasi. Karena pemilik pemancar sudah begitu ramai, sedang tata cara menggunakannya tidak mereka kuasai, sering terjadi perebutan frekuensi. Frekuensi crowded. Masing-masing berlomba memperbesar daya pancar. Mereka berupaya mengalahkan daya pancar perangkat sesama. Jika tidak, jangan harap dapat berkomunikasi dengan keras dan jelas. Terjadi perang sinyal. Timbul protes yang kemudian berkembang menjadi pertengkaran.
Tidak ada yang mau berusaha dan berani melerai. Ikut mendamaikan pertengkaran agaknya telah dianggap sama dengan mencari urusan atau malah menambah kericuhan, terlebih lagi jika yang bertengkar telah melancarkan perkataan-perkataan kotor. Kata akhir, perang dilanjutkan ke darat. Mengandalkan kekuatan otot, senjata, dan keroyokan. Baskara didatangi sejumlah orang, Matnur disatroni, dan Acong dipukul tanpa banyak cincong. Bukti penggemar pemancar radio sudah kian sulit berkompromi dan main hakim sendiri. Perilaku tak terpuji ini selayaknya segera dihentikan. Siapa tahu, kini menjadi pelaku, besok menjadi korban!
- “Disita, 65 Pemancar Radio Gelap”, Kompas, 1 Juni 1992.
- “Orari Masih Kurang Bereksperimen”, Kompas, 1 April 1991.
- Lysen, Indivindu dan Masyarakat, Sumur Bandung, Bandung, 1967, h. 11.
Leave a Reply