MIRA LESMANA

by 3senyuman

Satu-satunya senjata ampuh dan meyakinkan untuk melawan gagasan yang buruk adalah dengan gagasan yang baik.

(Alfred W. Griswold, Rektor Unibersitas Yale)

Bicara film Indonesia dalam era kebangkitan dasawarsa terakhir, tidak boleh tidak, kita harus menyebut nama Mira Lesmana. Karena Mira, begitu panggilan akrabnya, identik dengan kebangkitan itu.

Betapa tidak? Tahun 2000, lewat perusahaan filmnya, memproduksi film Petualangan Sherina, sebuah film anak-anak yang menghibur sekaligus mendidik. Film ini bagai angin segar bagi dunia film nasional yang sudah lama mati suri.

Tahun 2002, Mira memproduksi Ada Apa Dengan Cinta, sebuah film remaja yang segar sekaligus menarik. Seperti Petualangan Sherina, film AADC meledak, meraih sekitar 2 juga penonton dan memberi untung besar.

Puncaknya, ketika tahun 2008 lalu Mira memproduksi Laskar Pelangi, sebuah film yang diangkat dari dari novel Andrea Hirata, dengan judul sama. Film segala usia ini dinilai bagus dan mencerahkan. LP memecahkan rekor jumlah penonton film nasional, mencapai 4 juta lebih.

Kini nama Mira dan Miles Productions-nya menjadi label tersendiri bagi dunia film nasional. Ia kini identik dengan film-film layar lebar, yang selain sukses di pasar, juga memiliki kualitas artistik sebagai film.

Kiprah Mira ini terasa bernilai, karena produksi film nasional tahun-tahun terakhir didominasi film bertema hantu, komedi bertema konyol, dan yang menyerempet-nyerempet ke seks. Seperti biasa, kalau satu sukses yang lain ramai-ramai meniru. Apa boleh buat, kreatifitas dunia tontonan kita, memang dunia yang sering latah dan penuh tiru meniru. Dari dulu produsen film Indonesia memang lebih sering menampakkan diri terutama sebagai pedagang impian – merchant of dreams.

Tapi Mira tidak mau ikut dalam arus itu. Putri musisi jazz terkemua Jack Lesmana (almarhum) dan istri aktor Mathias Muchus ini mengambil jalan yang ia pilih sendiri. Sebelum memproduksi Laskar Pelangi, ia juga memproduksi GIE, sebuah film yang juga dinilai bagus, meskipun tidak terlalu sukses dalam pemasaran.

Mira Lesmanawati, lahir di Jakarta, 8 Agustus 1964. Secara formal, Mira mulai mulai menekuni film di Australian Centre for Photography, Sidney, Australia. Tahun 1985, ia meneruskan kuliah di Fakultas Film dan Televisi IKJ, Jakarta, mengambil spesialisasi penyutradaraan.

Sebelum mendirikan Miles Productions, tahun 1995, Mira sempat bekerja di industri periklanan. Tahun 1996, ia menjadi produser film Anak Seribu Pulau, sebuah serial drama dokumenter tentang kehidupan anak-anak di berbagai di Indonesia. Serial 14 episode ini diputar serentak di lima stasiun televisi. Sampai kemudian ia melahirkan Petualangan Sherina, AADC, dan yang lain-lain.

Mira dikenal sebagai sutradara dan produser wanita bertangan dingin. Kiatnya, yang paling terasa, ia mempersiapkan segalanya dengan baik, jauh-jauh hari, termasuk promosi. Karena itu, ketika DPR mensahkan UU Perfilman, sebagai revisi UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, 8 September 2009 lalu, ia meneteskan air mata.

Undang-undang yang baru itu hanya mengatur secara rinci sejumlah larangan kepada pembuat film. Mira merasa sedih, karena selama ini insan film berkembang tanpa bantuan pemerintah. Tahu-tahu pemerintah muncul sebagai pengontrol. Ada banyak hak pemerintah, sementara kewajibannya hanya satu, yaitu ”memfasilitasi” insan pers, tanpa ada penjelasan memfasilitasi itu seperti apa, dan untuk apa. “Kami tidak dipercaya, malah kami dianggap orang yang berpotensi melakukan tindak kriminal,” ujar Mira dengan sedih.

Mira benar. Pemerintah kita sebenarnya tidak pernah serius memikirkan film sebagai bagian strategis pembinaan budaya bangsa. Hanya sesekali turun tangan, atau numpang beken lewat event perfilman.

Mira Lesmana bukan satu-satunya wanita yang pantas dicatat dalam kebangkitan film Indonesia era dasawarsa terakhir. Masih ada Nia Dinata, Santhy Harmain, Lola Amaria, dan beberapa nama produser atau sutradara yang penuh cinta dan memberi harapan bagi dunia perfilman Indonesia. Tapi Mira pantas dianggap sebagai wakil mereka, karena dia produser sekaligus sutradara yang cerdas dan bersikap. Ia, seperti dikatakan Theodore Taylor dalam People Who Make Movies, berusaha jadi orang dagang yang kreatif. Membuat tontonan yang digemari (laris) sekaligus bermutu secara teknis, sehingga pantas disebut sebagai produk budaya dan membuat semua pihak bahagia.

Karena itulah Mira Lesmana pantas dicatat. Ia mengambil langkah seperti diucapkan Alfred Griswold, bahwa satu-satunya senjata ampuh dan meyakinkan untuk melawan melawan gagasan yang buruk, adalah dengan gagasan yang baik.

Nestor Rico Tambunan

Leave a comment