PEREMPUAN PANGGILAN

by 3senyuman

PERTUMBUHAN sebuah kota, konon, sejalan dengan pertumbuhan para pelacur. Sejarah telah menuturkan, kelahiran sebuah kota selalu diawali oleh para wanita tuna susila. Jika kemudian seluruh pelosok kota telah menjadi ramai, merekapun dikejar-kejar polisi, pindah atau dipindah-pindahkan ke sudut-sudut kota yang sepi.

Jika di sana mereka masih juga dikunjungi oleh para lelaki, makin lama, sudut-sudut kota itu semakin ramai. Jalanan dan gang-gang berlumpur segera diaspal. Transportasi segera diadakan, begitu juga toko-toko dan warung-warung segera tumbuh-menumbuhkan. Tanpa disadari, lahirlah sebuah kota baru. Selanjutnya, para pelacur itu dikejar-kejar polisi, pindah atau dipindahkan-pindahkan lagi. Begitu seterusnya. Seolah-olah, jika tak ada pelacur, tak akan pernah ada sebuah kota.1

Tapi, kini, sejarah sebuah kota tampaknya tak dapat lagi dihubungkan dengan sejarah pelacuran. Para pelacur tak perlu lagi harus dikejar-kejar polisi, tak perlu lagi harus dipindah-pindahkan atau pindah ke sudut-sudut kota yang sepi. Bahkan, merekapun tak mungkin lagi terisolir dalam suatu lokalisasi. Masa-masa yang suram itu tampaknya telah berlalu. Mereka telah memiliki sebuah peralatan yang ampuh: pemancar radio.

Alat komunikasi ini, telah mulai membuka lembaran-lembaran baru dalam kehidupan mereka, juga dalam kehidupan orang-orang lain. Lembaran-lembaran ini telah mulai diguratkan dalam sejarah pelacuran oleh para tuna susila di Sukabumi, Jawa Barat, dan para tuna susila di Semarang, Jawa Tengah. Dengan pemancar, pelacur di dua kota itu memperluas gerak dan langkah. Tak lagi sekedar mencari mangsa dan dimangsa di darat, tapi sudah pula dapat memanggil dan dipanggil lewat udara. Mereka tinggal menekan tombol dan pada gelombang tertentu, di dua meteran, mereka segera dapat memanggil dan dipanggil para hidung belang.

Di Sukabumi, Jawa Barat, panggil-memanggil antara para pelacur dan para hidung belang dilakukan oleh seorang perantara.2 Sedangkan di Semarang, Jawa Tengah, mereka langsung tawar-menawar cinta di udara.3 Agar aman, komunikasi di antara mereka selalu menggunakan frekuensi yang berbeda-beda dan menggunakan sandi yang selalu berganti-ganti. Di Sukabumi, sandi-sandi yang digunakan antara lain, Anggrek, Akasia, Mawar, dan Melati. Di Semarang, Nona Sakura, Nona Flamboyan, dan Nyonya Kembang Mekar.

Semua sandi yang menggunakan nama-nama kembang itu memiliki harga tersendiri yang hanya diketahui pelanggan.4 Karena itu, sepintas lalu, sandi-sandi yang manis tersebut dapat mengecohkan orang lain yang menden¬gar. Apalagi, nama-nama kembang itu pun sering digunakan penggemar pemancar radio di Sukabumi maka ulah mereka pun kian tersamar. Sulit dikenal awam. Di antaranya, pengurus Organisasi Amatir Radio Indonesia (Orari) di Sukabumi yang lama kelamaan menjadi hafal juga dengan sandi- sandi tersebut. Cuma, mereka tak berdaya untuk menanggulanginya, “Kami tidak punya hak untuk itu,” ujar seorang pengurus. Karena para pelacur itu memang bukan urusan mereka. Apa yang sebenarnya telah terjadi?

Soal pelacur di udara bukan kisah baru. Awal 1983, pemerintah Australia pernah juga kewalahan dengan soal ini. Para pelacur negeri Kangguru sana, juga menggunakan pemancar untuk mencari mangsa dan dimangsa. Dan, apa boleh buat, kini para new wave itu sudah pula malang-melintang di udara Sukabumi dan Semarang.
Dengan pemancar mereka dapat menjangkau wilayah yang jauh lebih luas. Kegiatan mereka tak hanya terbatas dalam suatu lokasi, tapi menjangkau kemana-mana. Menerobos ke segala penjuru kota dan menyusup ke dalam kamar-kamar para penggemar pemancar antarkota. Karena, langga¬nan para pelacur di Sukabumi itu sudah pula sampai ke Bandung dan Jakarta.5 Maka berlakulah rumus idaman mereka: semakin luas wilayah, semakin luas relasi pembeli cinta.

Ini tentu mendatangkan laba. Banyak relasi, banyak pula rejeki. Hidup jauh lebih nyaman. Namun, di balik kegembiraan itu, pengaruh asusila mereka yang hendak dicegah dengan lokalisasi menjadi tak terbendung lagi. Di udara, dari frekuensi ke frekuensi, sepanjang siang dan malam, ratusan, ribuan, dan bahkan puluhan ribu penggemar pemancar mengudara setiap hari di sepanjang jalur Jakarta, Sukabumi, dan Bandung. Sedangkan di Semarang, terdapat sekitar 4.780 penggemar pemancar radio yang tergabung dalam Orari dan sekitar 20.000 penggemar pemancar yang tidak terdaftar.6

Usia mereka, para penggemar pemancar itu beraneka ragam. Mulai dari yang tua, yang muda, dan bahkan sampai yang masih bocah pun bebas bercengkrama. Melalui pemancar, mereka dapat mendengarkan segala macam model rayuan asusila. Mereka semua memiliki peluang sama untuk menjadi mangsa dan dimangsa. Semua memiliki peluang untuk menikmati kenikmatan yang dijanjikan. Melalui udara, dengan pemancar radio, para pelacur itu dapat lebih meningkatkan daya pengaruh rayuannya.

Beberapa tahun silam, ada sebuah piringan hitam yang diciptakan Stan Freberg. Melalui piringan tersebut dapat diikuti dialog singkat antara dua orang, Marsha dan John.
“John….”
“Marsha….”
“John….”
“Marsha….”
“John….”
“Marsha….”

Dialog itu berlangsung tiga menit dengan tekanan dan nada yang bervariasi. Tak lama kemudian, piringan hitam yang sebenarnya tiada berarti itu dilarang di pemancar-pemancar radio. Dialognya dianggap menimbulkan perasaan-perasaan yang kurang sopan.7

Hal itu menunjukkan, sepatah kata pun, jika diucapkan dengan mahir dalam konteks tertentu, dapat memberikan pengaruh tehadap impuls-impuls manusia yang paling peka. Ia mampu menggetarkan hati dan menciptakan fantasi di benak pendengar. Di depan pemancar, semua manusia adalah buta. Pikiran, kemauan, dan mata hati mereka dapat dikendalikan suara lawan berbicara yang mengandung sugesti dan persuasi. Tak heran, melalui pemancar, suara-suara manusia banyak melahirkan mimpi.

Karena itu, dengan hanya mendengarkan suara, bila bersua dengan si Kupu-kupu Malam di udara, bisa-bisa yang tua, yang muda, dan yang masih bocah dapat berubah menjadi serangga yang memang doyan melahap kupu-kupu. Mereka ibarat menikmati film-film biru tanpa seleluid. Gerak, bisikan, dan desah nafas para pelacur dapat menggugah fantasi mereka dan para amatir itu pun dapat membayangkan hal yang walah…, walah….

Sejarah telah menunjukkan, mampirnya pelaut-pelaut bahari ke sebuah pelacuran adalah mencari pengalaman seksual di kota yang mereka singgahi. Makin Asyik pengalaman yang diperoleh, makin sering mereka menyinggahi tempat-tempat pelacuran di kota tersebut.8 Karena itu, bukan tak mungkin, makin asyik pengalaman yang diperoleh melalui pemancar, para penggemarnya pun makin sering ngebrak-ngebrik di udara. Bak pelaut-pelaut bahari, mereka pun mungkin ingin juga menikmati pengalaman-pengalaman seksual. Siapa tahu?

Oleh Mohammad Fauzy

  1. Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar, Dolly, Grafiti Pers, Jakarta, 1985, h. 8.
  2. “WTS Kelas Tinggi Bisa Dipesan lewat Udara”, Mingguan Inti Jaya, minggu pertama, Maret 1986.
  3. “Demam Pelacuran lewat Udara di Semarang”, Buana Minggu, 20 April 1986.
  4. Ibid.
  5. Ibid.
  6. “WTS Kelas Tinggi Bisa Dipesan Lewat Udara”, Op.cit.
  7. Maruli Panggabean, ed., Bahasa, Pengaruh dan Pera¬nannya, PT Gramedia, Jakarta, 1981, h. 18.
  8. Tjahjo dan Ashadi, Op.cit.

Leave a comment